A. Pendahuluan
"Life is the Game"
begitulah pepatah mengatakan. Permainan tentu ada kalanya menang, ada kalanya
kalah. Begitu pula kehidupan, ada kalanya mujur, ada kalanya babak belur bahkan
hingga hancur. Asumsi yang semacam itu membuat setiap manusia selalu ingin
terhindar dari babak belur apalagi hancur (total lost) sehingga berusaha
mencari sebuah pelindung (security) dikala terjadi sesuatu hal diluar
keinginan (force majure), minimal resiko yang ditanggung tidak sebesar
musibah yang diterima karena ada pihak sebagai pelindung atau penanggung atas
kecelakaan tersebut.
Dengan adanya jaminan resiko,
maka tercipta hidup yang aman, hal ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ
مِنْ خَوْفٍ
" Yang telah memberi makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan" (QS. Quraisy : 4)
Ayat tersebut diatas
menunjukkan bahwa Allah menginginkan makhluknya menjadi makhluk yang hidup
dalam kemakmuran dan ketenteraman sehingga menjadikan mahluk yang berbakti
kepada Allah Swt. Bukan makhluk yang selalu dihantui oleh ketakutan,
kebimbangan dan terlebih tidak bisa melaksanan kewajibannya melaksanakn
perintah tuhannya.
Allah Swt juga memerintahkan
umat manusia untuk menjadi umat yang tangguh sebab dengan begitu akan tercipta
sebuah keturunan yang kuat sehingga tercipta sebuah tatanan umat manusia yang
sejahtera.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
"Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar." (QS. Annisa : 9)
Ayat diatas mengajak umat
manusia untuk supaya tidak khawatir atas kesejahteraan mereka. Namun, adanya
jaminan rasa ketidak khawatiran ini tentu bukan diartikan tanpa usaha,
melainkan adanya sebab (sebab-musabab) sehingga tercipta sebuah kesejahteraan,
karena fitrah manusia sendiri itu untuk berusaha (ikhtiyar).
Maka, untuk memberi jaminan
atas rasa ketakutan secara umum baru muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia
dalam bentuk asuransi perjalanan laut. Maka, karena asuransi ini tergolong
sebuah model transaksi baru, sehingga disiplin ilmu fikih klasik belum ada yang
menyebutnya. Hal ini menjadikan ulama kontemporer melakukan ijtihat guna
mencari sebuah sistem asuransi yang sah menurut hukum Islam sebab sejak munculnya
asuransi, yang berkembang adalah asuransi konvensional (mengandung unsur riba,
judi dll).
Berdasarkan UU RI nomor 2
tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian – pasal 1 menyebutkan bahwa pengertian asuransi
atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana
pihak penanggung mengikat diri pada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari
satu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan satu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pengertian asuransi diatas
secara umum tidak mengatur bentuk serta mekanisme tertentu, terlebih
menggunakan mekanisme yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam sehingga
asuransi konvensional jika dihadapkan pada hukum syariah terdapat banyak
larangan-larangan sehingga perlu dihindari.
B. Sejarah dan Pengertian
Asuransi telah lahir dan
ditemukan jauh sebelum datangnya Islam yang digali melalui sejarah perekonomian
dan kebudayaan manusia sejak zaman dulu, bahkan para pakar sejarah
mengaitkannya dengan sejarah nabi Yusuf as.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci al-Qur'an[1].
Riwayat lain menurut Clayton bahwa ide asuransi muncul dan berkembang sejak
zaman Babilonia sekitar 3000 tahun sebelum masehi[2].
Pada perkembangan asuransi yang tumbuh berkembang di barat kemudian berdirilah Lloyd
of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Berbeda dengan asuransi
syariah, sejarah lahirnya asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan
sebutan Al-Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi
bagian dari hukum Islam. Hal ini didasarkan oleh hadits dari baginda nabi
Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata:
berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu
ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta
janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan kepada baginda Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw, memutuskan ganti
rugi dari pembunuhan janin tersebutdengan pembebasan seorang budak laki-laki
maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian tersebut dengan diyat
yang dibayarkan oleh aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR.
Bukhori)
Dalam budaya suku Arab dulu, jika anggota suku membunuh anggota suku
yang lain, maka ahli waris terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran uang darah)
sebagai penutupan. Kemudian Rasulullah Saw membuat ketentuan tentang
penyelamatan jiwa para tawanan yang tertahan oleh musuh karena perang, maka
harus membayar tebusan untuk membebaskannya. Selain itu, Rasulullah Saw juga
telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan memberikan sejumlah
kompensasi untuk berbagai kecelakaan akibat perang seperti :
·
5 ekor
unta untuk luka tulang dalam
·
10 ekor
unta untuk kehilangan jari tangan atau kaki
·
12.000
dinar untuk kematian (untuk ahli waris)
Dari sejarah diatas dapat
disimpulkan bahwa sejak awal konsep asuransi syariah berbeda dengan
konvensional. Dimana sejarah asuransi syariah lebih kepada tolong menolong satu
sama lain sedangkan konvensional lebih kepada mencari keuntungan semata.
Perkembangan sejarah diatas
akhirnya memunculkan sebuah pengertian berbeda, dimana pengertian asuransi konvensional
sebagaimana disebutkan diatas bahwa asuransi adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih dengan pihak penanggung mengikat diri pada tertanggung. Sedangkan
asuransi syariah yang oleh beberapa ulama mendefinisikannya seperti menurut
Rofiq Yunus Al-Mashri, asuransi adalah perjanjian antara pihak penanggung dan
tertanggung untuk sesuatu yang dipertanggungkan[3].
Sedangkan Wahbah Zuhaili dalam
Fikih Islami mendefinisikan sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya, asuransi
itu ada dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni (asuransi dengan
pembagian tetap).
Asuransi ini adalah
kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
ketika salah seorang diantara mereka mendapat kecelakaan/kerugian. Kecelakaan
yang menimpa para peserta asuransi ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian,
kebakaran, kebanjiran, kecurian dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai
dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi
orang-orang yang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit.
Dan at-ta’min bi qist sabit
adalah aqad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak
asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila
peserta asuransi mendapatkan kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Lebih lanjut dikatakannya,
bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qist sabit. Sifat
akad ini mengikat kedua belah pihak. Perbedaan antara kedua asuransi ini,
menurut Mustafa al-Buga terletak pada tujuan masing-masing. At-ta’min
at-ta’awuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata
untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang
anggotanya. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang hukum kebolehan
at-ta’mn at-ta’wuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan
prinsip Islam.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ …Dan tolong-menolong lah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah : 2)
C. Karakteristik
Melihat sejarah dan
perkembangan asuransi konvensional yang berkembang hingga saat ini, terbangun
sebuah karakteristik yang memiliki orientasi bisnis semata, sehingga
mengenyampingkan aspek-aspek moralitas, lebih jauh lagi sistem yang terbangun hanyalah
untuk mencari keuntungan semata bahkan dengan segala cara. Dalam asuransi
konvensional nasabah lebih banyak dirugikan, belum lagi investasi dana yang
terkumpul dari pembayaran premi nasabah diinvetasikan terhadap produk yang
lebih cepat menghasilkan keuntungan, terutama disektor financial assets.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil
alamin melarang praktek-praktek bermuamalah yang merugikan salah satu pihak
(tidak adil) dan praktek-praktek yang masih samar atau tidak diketahui. Dalam
muamalah yang sesuai syariah, yang dicari adalah keridhaan Allah Swt demi
kebaikan dunia dan akhirat. Lebih jauh lagi, tidak hanya halal maupun haram
saja yang menjadi pertimbangan, melainkan diterima atau tidaknya muamalah kita
oleh Allah Swt.
Hakikat manusia sebagai hamba
yang harus patuh kepada tuhan (habl min al-Allah) dan manusia yang harus
hidup bermasyarakat (habl min an-nas) sudah sepatutnya tidak boleh
saling merugikan, baik rugi dimata tuhan maupun rugi sesama manusia. Islam
menolak ketidak adilan, namun islam mendorong untuk saling berbuat kebaikan (fastabiqul
khoirot). Sejalan dengan hal itu, asuransi dengan sistem konvensional tidak
sejalan dengan karakteristik Islam yang lebih mengutamakan maslahah. Maka,
dalam pandangan syariah secara luas, perlu adanya sistem yang sejalan dengan
hukum Islam, sebagaimana yang sekarang berkembang yaitu asuransi syariah.
D. Mekanisme Umum
Pada prinsipnya setiap segala
sesuatu itu hukumnya boleh. Hal ini didasarkan pada qoidah "ان الاصل فى الاشياء الاباحة" dan أن الدليل اذا دل على حرمة الشيء من تلك المباحات
فهو حرم" sehingga pelaksanaan asuransi
pada dasarnya tidak bertentangan dengan islam, yang dilarang oleh islam jika
memang mengandung larangan.
Model asuransi konvensional
dilarang dalam Islam karena mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan
syariah diantaranya:
1. Jual Beli Resiko
Dalam asuransi konvensional secara
umum mekanismenya adalah mengurangi uncertainty (ketidakpastian,
keraguan) yang disebabkan oleh adanya kemungkinan kerugian. Asuransi memberikan
kepastian kepada peserta asransi dengan memberikan biaya kerugian atau transfer
of risk yaitu pemindahan risiko dari peserta/tertanggung ke
perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu
pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi, maka
kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan ausransi.
Perusahaan asuransi akan memberikan klaim atau tuntutan atas suatu hak yang
timbul karena persyaratan dalam perjanjian yang ditentukan sebelumnya telah
dipenuhi.
Model seperti ini dalam
pandangan ulama tidak diperbolehkan, hal ini karena premi asuransi yang
dibayarkan merupakan imbalan jasa atas jaminan yang diberikan kepada
tertanggung untuk mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung.
Selain itu, juga merupakan imbalan jasa atas perlindungan yang diberikan oleh
penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap resiko
hari tua atau kematian (pada asuransi jiwa). Permi asuransi adalah syarat yang
harus dibayarkan sebagai pra-syarat adanya perjanjian asuransi (no premium
no insurance). Hal ini mengandung unsur-unsur perjudian/taruhan, spekulasi
dan riba karena model perputaran uang dalam asuransi konvensional masih samar,
terutama pembayaran klain atas polis asuransi dan hal ini mengandung ghoror. Selain
itu perusahaan terkadang beruntung dan terkadang merugi dengan artian apabila
insiden itu besar dan lebih banyak daripada yang dibayar, maka perusahaan
merugi. Apabila insidenya kecil dan lebih sedikit dari yang dibayar klaimnya,
maka dia beruntung atau sebaliknya yaitu jika tidak terjadi insiden sama sekali
maka kliennya merugi. Dan model ini dinamakan jual beli resiko.
Lebih dari itu, akad atau
perjanjian dalam asuransi konvensional yang digunakan adalah jual beli (aqd
tadabuli). Namun jika memang akadnya jual beli, sudah seharusnya syarat dalam
transaksi jual beli harus terpenuhi. Diantara syarat itu adalah adanya penjual,
pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi konvensional
ini, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh dana. Padahal, asuransi
konvensional secara pengertian hanya mengikat antara penanggung dan tertanggung
sehingga jelas keghororannya.
Menurut Kamus Fiqhi, gharar
adalah segala sesuatu yang tidak diketahui atau samar oleh manusia yang
berhubungan dengan harta[4].
Menurut Imam Syafi'i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan
kita[5].
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah sesuatu yang tidak diketahui akibatnya[6].
Hal ini sejalan dengan asuransi konvensional dimana menurut Sayyid Sabiq bahwa bei'al
gharar adalah jual beli yang tidak jelas[7]
sehingga mengandung resiko bagi salah
seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta[8].
سْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ
فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن
نَّفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ
اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
"Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: 'Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfa'atnya'. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir" (QS. Al-Baqarah: 219)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan". (QS. Al-Maidah: 90)
2. Taruhan
Hal lain yang sering
dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana
yang yang telah disetorkan kepada perusahaan. Dalam praktek asuransi yang murni
berorientasi bisnis berlomba menghadirkan model atau sistem terbaik untuk
menggaet pelanggan. Sehingga sistem yang ditawarkan beraneka ragam. Beberapa
model asuransi konvensional yang saat ini berkembang adalah:
a.
Dana
Hangus, nasabah yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin
mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus.
bahkan yang lebih parah lagi, premi yang sudah dibayarkan akan hangus jika tidak
ada klaim.
b. Manfaat Hilang. Manfaat asuransi tidak berlaku apabila pembayaran premi
dihentikan atau tunggakan premi tidak dilunasi dalam masa leluasa (grace
period). Seperti pada asuransi Bumiputera
c. Dana yang telah disetorakan (premi) berkurang nilainya ketika masa habis
kontrak dan tidak ada klaim selama kontrak berlangsung. Seperti asuransi
Sinarmas.
Hal ini menurut para ulama
sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan
karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan
jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini nasabah
dalam posisi yang didzalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling mendzalimi
antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang
merugikan dan dirugikan).
E. Manajemen Sumber Dana
1.
Premi
Lembaga asuransi tumbuh dan
berkembang sebab premi yang dibayarkan oleh pemegang polis. Dalam sistem
operasional asuransi konvensional, bersarnya premi ditentukan oleh tiga faktor
penting yaitu: 1) Tabel Mortalitas, 2) Penerimaan Bunga dan 3) Biaya-biaya
asuransi. Penentuan tarif merupakan hal paling penting dalam asuransi di dalam
menentukan besaran premi tersebut. Tarif premi yang ideal adalah tarif yang
harus bisa menutupi klaim serta berbagai biaya asuransi dan keuntungan
perusahaan[9].
Para ulama sepakat bahwa bunga
(ar-rubh) adalah riba sehingga dalam kacamata syariah, sistem penentuan
besaran premi yang digunakan dalam asuransi konvensional tidak bisa dibenarkan
karena bunga sebagaimana dimaksudkan bisa menyebabkan ketidak adilan dan
unsur-unsur lain yang dilarang islam.
2. Investasi
Semua lembaga asuransi pasti
ingin selalu mengalami peningkatan baik dalam pertumbuhannya maupun peningkatan
modal atau laba sebab dengan begitu asuransi akan terus berjalan dan mampu
memenuhi kebutuhan pertanggungan (klaim). Dana yang terkumpul dari premi-premi
pemegang polis sudah diatur berasannya sedemikian rupa menjadi sumber dana
utama sehingga untuk bisa mewujudkan harapan peningkatan modal atau laba, dana
premi yang telah terkumpul harus diinvestasikan. Pilihan investasi yang
dilakukan oleh asuransi konvensional sangat beragam, namun jika melihat
karakteristiknya yang bisnis orientied, maka wajar jika pada umumnya asuransi
konvensional menginvestasikan dananya pada sektor-sektor yang hasil imbalnya
lebih cepat dan tinggi, terutama pada sektor finansial asset. Hal ini
karena mengacu pada teori "semakin tinggi imbal hasil yang diekspektasikan
maka tingkat risiko investasinya juga semakin besar". Contoh tingkat hasil
investasi tertinggi adalah investasi di pasar modal melalui instrumen saham (stocks).
Saham dapat memberikan imbal hasil normal sekitar 20-25% pertahun belum
termasuk deviden yang dibayarkan oleh emiten.
Dari hasil cara kerja asuransi
konvensional ini, uang pembayaran klaim pemegang polis asuransi tidak jelas
sumbernya serta tidak menutup kemungkinan bercampur dengan hasil uang yang
dalam pandangan syariah dilarang karena sebab-sebab tertentu, seperti hasil
riba dan lainnya. Dalam pandangan orang yang mengetahui sember pendanaan yang
digunakan, maka jelas tidak diragukan. Jika memang bercampur dengan hasil yang
dilarang, maka dilarang, atau sebaliknya. Namun bagi yang tidak tahu, terutama
nasabah, maka dikembalikan pada hadits baginda nabi Muhammad Saw:
"Halal itu jelas, haram
juga jelas. Dan diantara keduanya terdapat hal-hal yang samar (syubhat) dimana
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga diri syubhat,
maka dia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Dan barang siapa jatuh didalam
syubhat, maka dia jatuh didalam yang haram. Seperti ia mengembala ditanah
larangan, maka ia hampir jatuh didalamnya." (HR. Muttafaq alaih)
Hadits diatas membuka tabir harus bagaimana
masyarakat bersikap ketika menghadapi ketidak jelasan suatu perkara antara
halal dan haram. Dalam investasi yang dilakukan lembaga asuransi konvensional
sifatnya bebas, tidak mengikat pada investasi disektor riil yang halal. Dalam
pandangan al-Ghozali ketika perkara itu tidak diketahui karena telah bercampur
antara yang halal dan haram maka itu diharamkan[10].
3. Reasuransi
Mengutip Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi pada bab VI dijelaskan bahwa perusahaan
asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi untuk setiap produk yang
ditawarkan. Reasuransi sekurang-kurangnya diperoleh satu perusahaan reasuransi
di dalam negeri dan diluar negeri dengan catatan harus terlebih dulu mengikuti
reasuransi di dalam negeri. Aturan keleluasaan reasuransi ini menyebabkan
perusahaan tidak menutup kemungkinan untuk menjual kembali reasuransinya kepada
pihak ketiga untuk mencari selisih keuntungan.
Cara kerja reasuransi
konvensional tersebut membuka peluang untuk menimbulkan gambling dan riba sebab
mencari selisih keuntungan yang bukan didasarkan atas bagi hasil, termasuk
riba.
F. Kesimpulan
Asuransi konvensional memiliki
banyak kelemahan dan praktek-praktek operasionalnya yang disembunyikan sehingga
menuai banyak larangan dalam syariat Islam. Diantara kelemahan dan ketidak
jelasan sebagai berikut:
1. Akad/kontrak. Kontrak dalam asuransi konvensional adalah jual beli,
namun tidak melaksanakan syarat-syarat
jual beli.
2. Cara penentuan besaran premi yang dibayarkan ke perusahaan berdasarkan
bunga komulatif (pokok dan bunga) yang didapat perusahaan.
3. Dana premi yang telah dibayarkan bisa hilang secara keseluruhan, atau
hilang manfaatnya, atau kembali namun dengan jumlah yang berkurang tanpa ada
kejelasan terlebih dulu.
4. Dana pembayaran klaim polis didapat dari sumber yang samar.
5. Reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi konvensional bersifat
bebas dan tidak mengikat.
G. Penutup
Dari pembahasan di atas
terlihat bahwa asuransi pada dasarnya mempunyai peran yang sangat penting serta
strategis dalam penyelenggaraan kehidupan yang lebih baik dihari mendatang.
Lembaga asuransi yang sistem operasionalnya benar dan adil akan membawa
perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran negara sehingga akan
menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Namun jika operasionalnya
menyalahi aturan, maka akan didapatkan sebuah kerancauan dan petaka dikemudian
hari. Agama Islam sebagai agama yang sempurnya sudah seharusnya digunakan dalam
setiap perilaku kehidupan sehari-hari (worldwiew).
Bahan Bacaan
Al-Ghozali,
Halal & Haram, Surabaya: Amelia, 2007
Al-Mashry,
Rofiq Yunus, Fikih Muamalah Maliyah, Damascus: Darul Qolam, 2005
Amrin,
Abdullah, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2011
as-Syafi'I,
Muhammad bin Idris, al-Umm, Maktabah Syamilah V2
Habib,
Said Abu, Kamus Fiqhi, Maktabah Syamilah v2
Lajnah
Usatidz Qism Fiqh Muqorin, Qodhoya Fiqhiyah Ma'ashirah, Cairo : Universitas
Azhar, tth.
Mausu'ah Al-Iqtishod al-Islami, Cairo: Dar es Salam, 2009
Rodoni,
Ahmad, Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Dikrul Hakim,
2008
Sabiq,
Sayyid, Fiqh Sunnah, Maktabah Syamilah v2
Syafe'I,
Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Tunggal,
Hadi Setia, Pokok-Pokok Manajemen Risiko dan Asuransi, Jakarta:
Harvarindo, 2011
Uways,
Abdul Halim, Mausuah al-Fiqh al-Islamiy al-Ma'ashir, Manshourah: Darul
Wafa', 2005
Zauhaili,
Wahbah, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Damascus : Darul Fikr, 1985
Situs
Asuransi Bumiputra http://bumiputra.co.id
Situs
Asuransi Sinarmas http://sinarmas.co.id
[1]
Lihat Al-Qur'an surah Yusuf yang
menyebutkan bahwa raja Mesir menginginkan adanya jaminan (cadangan makanan)
akibat paceklik yang akan datang. Hal ini sebagaimana mimpi yang ditafsirkan oleh
nabi Yusuf as.
[2]
Dalam Hammurabi Code dijelaskan
bahwa pedagang yang meminjam uang harus membayar bunga. Peminjam harus
dilindungi (dibebaskan) dari kewajibannya bila dalam perdangannya terjadi
kecelakaan. Pembayaran bunga tersebut bisa diartikan sebagai pembayaran premi.
Lebih lengkap lihat Abdullah Amrin, SE, MM., Meraih Berkah Melalui Asuransi
Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011, hal 10.
[8]
Ibn Jazi al-Maliki dalam
Al-Qowanin Al-Fiqhiyah mengklasifikasikan jual-beli ghoror menjadi 10 macam.
Menurut penulis, beberapa yang berhubungan dengan sistem asuransi konvensional
adalah jual beli husha', jual beli
mulasamah dan jual beli yang tidak diketahui ukuran barangnya. Lebih lengkapnya
lihat Prof. Dr. H. Rahmat Syafei, MA.,Fiqih Muamalah, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001, hal 98.